Sabtu, 29 September 2012

4 golongan Lelaki yang akan ditarik masuk ke Neraka oleh Wanita




1. Ayahnya

Jika seseorang yang bergelar ayah tidak mempedulikan anak perempuannya di dunia. Dia tidak memberikan segala keperluan agama seperti mengajarkan shalat, mengaji, dan sebagainya. Dia membiarkan anak perempuannya tidak menutup aurat. Tidak cukup kalau dangan hanya memberi kemewahan dunia saja. Maka dia akan ditarik ke neraka oleh anaknya.

Duhai lelaki yg bergelar Ayah, bagaimanakah keadaan anak perempuanmu sekarang? Apakah kau mengajar shalat dan shaum (puasa) padanya? Menutup aurat? Pengetahuan agama? Jika tidak terpenuhi, maka bersedialah untuk menjadi bagian dari Neraka.

2. Suaminya

Apabila suami tidak mempedulikan tindak tanduk isterinya. Bergaul bebas. Membiarkan istri berhias diri untuk lelaki yang bukan mahramnya.

Jika suami mendiam istri yang seperti itu walaupun suami adalah orang yang alim, suami adalah shalatnya yang tidak pernah bolong, suami adalah yang shaumnya tidak pernah lalai. Maka dia akan turut ditarik oleh isterinya bersama-sama ke dalam Neraka.

Duhai lelaki yang bergelar Suami, bagaimanakah keadaan istri tercinta sekarang? Dimanakah dia? Bagaimana akhlaknya? Jika tidak kau jaga mengikuti ketetapan Islam, maka terimalah keniscayaan yang kau akan sehidup semati bersamanya hingga Neraka.

3. Saudara Lelakinya

Apabila ayahnya sudah tiada, tanggungjawab menjaga kehormatan wanita jatuh pada saudara lelakinya (kakak, paman). Jika mereka hanya mementingkan keluarganya saja dan adik atau keponakannya dibiarkan dari ajaran Islam, maka tunggulah tarikan mereka di akhirat kelak.

Duhai lelaki yg mempunyai saudara perempuan, jangan hanya menjaga amalmu dan melupakan amanah yang lain. Karena kau juga akan pertanggungjawabkan diakhirat kelak.

4. Anak Lelakinya

Apabila seorang anak laki-laki tidak menasehati Ibunya perihal kelakuan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Bila ibu membuat kemungkaran, mengumpat, memfitnah, mengunjing, maka anak itu akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Dan bersama menemani ibunya di Neraka.

Duhai anak lelaki, sayangilah ibumu, nasihatilah dia jika bersalah atau lalai. Karena ibu juga insan biasa, tak lepas dari melakukan dosa. Selamatkanlah dia dari ancaman neraka, jika tidak, kau juga akan ditarik menjadi teman di dalamnya.

* * *

Betapa hebatnya tarikan wanita. Bukan saja di dunia, tapi juga di akhirat yang tak kalah hebat tarikannya. Maka, kaum lelaki yang bergelar ayah, suami, saudara atau anak harus memainkan peran mereka dengan baik.

*Gambar ilustrasi oleh Final Toto

Sabtu, 15 September 2012

Karakter Pemuda Sejati Calon Pemimpin Bangsa




Underground Tauhid – Fenomena zaman sekarang, lekat sekali dengan pemuda yang trendy, bergaya maco, bahkan tak sungkan untuk membanggakan tabiat-tabiat mereka yang sudah berkiblat pada barat. Dalam pergaulannya pun sudah begitu berlebihan, gaya liberal yang menuntut pada kebebasan berekspresi, ternyata sampai pada kebebasan berpasang-pasangan sebelum nikah. Banyak pula kelompok-kelompok pemuda yang membentuk geng, supporter bola yang anarkis, tawuran di mana-mana, dari kota hingga berbagai daerah di penjuru negeri ini. Kebanyakan Pemuda saat ini sudah kehilangan segala-galanya; baik Identitas, Kapasitas, Integritas, maupun Kapabilitas. Alih-alih menjadi Bagian dari solusi malah ternyata menjadi bagian dari masalah!

Lalu di manakah posisi kita sebagai pemuda? Dan bagaimanakan karakter pemuda yang seharusnya kita miliki untuk bangkitnya peradaban Islam dan bangsa ini? Mari kita lihat kisah nyata, yang benar-benar terjadi di atas muka bumi 1400 tahun yang lalu.

Kisah nyata yang begitu sempurna ini, menjadi masyur dan diabadikan dengan tinta emas oleh banyak sejarawan dalam buku-buku mereka. Sebuah kisah nyata tentang lelaki-lelaki sejati di masa Umar bin Khattab ra.

Dimasa Kekhalifahan Umar bin Khattab, ada seorang pemuda yang mengarungi padang pasir untuk menunaikan umrah di Tanah Suci. Pemuda itu tiba di sebuah oasis di pinggir sebuah permukiman penduduk. Ia berhenti dan istirahat. Karena kelelahan pemuda itu tertidur. Ketika pemuda itu tidur, tali pengikat untanya lepas. Dan unta itu, tanpa sepengetahuan pemuda berjalan mencari makan, karena kelaparan.

Unta itu masuk kesebuah kebun yang subur tak jauh dari tempat itu. Penjaga kebun itu adalah seorang kakek. Unta itu tak ayal lagi. Karena kelaparan, memakan dan merusak tanaman kebun itu. Sang kakek berusaha mengusir unta itu. Tapi sang unta itu tidak mau beranjak dari tempatnya. Karena panik dan takut dimarahi tuannya, sang kakek memukul unta itu.Dan atas kehendak Allah, unta itu mati.

Sang kakek semakin panik dan cemas, apalagi pemuda pemilik unta itu terbangun dan mendapati untanya telah mati. Karena tidak ada orang lain selain kakek itu di dekat bangkai unta, pemuda itu berprasangka bahwa kakek tua itulah yang membunuh untanya.

Dan kakek itu mengakuinya setelah sang pemuda mengintrogasinya. Seketika itu sang pemuda marah besar dan gelap mata. Ia memukul kakek itu dengan pemukul yang digunakan untuk memukuli untanya. Dan kakek itu tewas.

Pemuda itu sangat panik dan menyesal ketika mengetahui kekhilafannya. Ia tidak berniat membunuh kakek itu, hanya marah besar. Tiba-tiba datanglah dua pemuda yang tak lain anak sikakek. Mereka terkejut melihat ayahnya mati dan di tempat itu hanya ada sipemuda. Akhirnya tahulah kedua anak kakek itu, bahwa ayahnya dibunuh oleh sipemuda itu.

Mereka lalu menangkap si pemuda dan menyeretnya ke hadapan Umar bin Khattab untuk diadili. Sang pemuda mengakui perbuatannya dan Umar pun menjatuhi hukuman mati (Qishash) untuk pemuda itu. Namun, sang pemuda minta penangguhan eksekusi hukuman, karena ia harus memberi tahu keluarganya dan menyelesaikan utangnya yang belum tuntas di kampungnya. Umar pun bersedia mengabulkan permintaaan pemuda itu dengan syarat ada yang bersedia menjadi penjamin pemuda itu.

Pemuda itu cemas dan bingung. Siapa yang mau jadi penjaminnya..? Ia tidak punya kenalan dan kerabat di daerah itu. Bagaimana mungkin akan ada orang yang bersedia mempertaruhkan nyawanya untuk menjadi penjaminnya.

Tiba-tiba ada orang lelaki maju dan berkata kepada Umar, “Wahai Amirul Mu’minin, saya bersedia menjamin pemuda ini”. Umar kaget, Ia menatap tajam lelaki itu yang tak lain adalah Abu Dzar Al Ghiffari ra. Umar berkata dengan nada serius, “Abu Dzar, sadarkah kamu dengan resiko kesediaanmu menjadi penjamin pemuda ini..?”. Dengan tegas Abu Dzar menjawab, “Ya saya sadar. Saya siap menanggung resikonya”. Umar lalu berkata kepada pemuda itu,”Hai anak muda kau telah memiliki penjamin. Sekarang Pulanglah. Selesaikan urusanmu dan segera kembalilah kesini untuk
mempertanggung jawabkan perbuatanmu.”

Pada hari yang telah ditentukan, masyarakat sudah berkumpul di lokasi pelaksanaan eksekusi hukuman Qishash, Abu Dzar. Hari semakin panas, siang semakin terik, dan pemuda itu belum juga ada tanda-tand datang. Ketika hari memasuki sore, dan pemuda itu belum juga datang. Masyarakat riuh membicarakan kebodohan Abu Dzar yang bersedia menjadi penjamin orang asing yang tidak dikenal. Masyarakat juga cemas, jika sampai matahari tenggelam dan pemuda itu belum juga datang, maka Abu Dzar harus menggantikan pemuda itu untuk dipancung. Namun, Abu Dzar tetap tenang. Dengan rasa tawakal yang tinggi kepada Allah ia menunggu detik-detik matahari semakin dekat keperaduannya. Dan matahari tenggelam, pemuda itu belum datang. Maka eksekusi harus dijalankan. Dengan tenang Abu Dzar maju ke tempat eksekusi. Algojo disiapkan. Banyak yang menangis melihat Abu Dzar siap dihukum mati untuk dosa yang tidak dilakukannya.

Dan, ketika algojo sudah mengangkat tangannya dengan pedang terhunus siap ditebaskan ke leher Abu Dzar, seorang penduduk berteriak. Ia melihat di kejahuan ada bayangan dan kepulan debu. Ada yang datang. Ia meminta ditunggu sebentar sampai jelas siapa yang datang. Semua menoleh kebayangan itu termasuk Umar bin Khatab ra. Umar minta agar yang datang ditunggu dulu.

Bayangan itu semakin dekat. Dan ternyata yang datang adalah pemuda itu untuk memenuhi tanggung jawabnya. Semua orang berdecak takjub dan haru. Bisa saja pemuda itu melarikan diri dari hukuman mati. Tapi ia tetap datang. Dengan napas terengah-engah pemuda itu minta maaf atas keterlambatannya karena ada halangan di jalan. Karena kagum pada kejujuran pemuda itu, Umar bertanya, “Wahai pemuda, aku kagum padamu. Kenapa engkau memilih datang padahal kau bisa saja lari dari hukuman mati..?”. Pemuda itu menjawab, “Wahai amirul Mu’min, alasanya sederhana saja. AKu tidak mau ada yang mengatakan bahwa tidak ada lagi lelaki-lelaki sejati di kalangan umat muslim yang dengan ksatria berani mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ia juga bagaimana
mungkin saya tega membiarkan orang lain tidak bersalah yang rela menjadi penjaminku mati karena perbuatanku”.

Lalu umar menoleh kepada Abu Dzar dan bertanya, “Dan kamu Abu Dzar, apa yang membuatmu yakin untuk menjadi penjamin pemuda asing ini dan kamu siap menggantikan dirinya untuk dihukum mati jika dia tidak datang..?”. Abu Dzar menjawab, “Aku melakukan ini agar tidak ada yang mengatakan bahwa tidak ada lelaki sejati di kalangan umat Islam yang bersedia menolong saudaranya yang membutuhkan pertolongan. Aku tidak merasa rugi di hadapan Allah. Kalau pemuda itu tidak datang dan aku harus mati menggantikannya, kematianku syahid di jalan Allah, karena aku memang tidak bersalah”. Umar bin Khatab ra diliputi rasa kagum dan haru. Dia lalu memutuskan untuk segera mengeksekusi pemuda itu sebelum waktu salat mahgrib habis. Tiba-tiba ada yang berteriak, “Tunggu wahai Amirul Mu’min, bolehkan kami minta agar pemuda ini dibebaskan dari hukuman mati..?”, yang berteriak itu adalah dua pemuda anak kakek yang tebunuh itu. Umar menjawab, “Apa yang membuat kalian minta pembatalan hukuman ini..?”. Mereka menjawab, “Sungguh kami kagum dengan dua lelaki sejati ini izinkan kami memafkan pemuda yang saleh, yang jujur ini. Kami tidak ingin ada yang mengatakan bahwa di kalangan umat Islam tiada lelaki sejati yang memaafkan kesalahan. Bukankah Al-Quran membolehkan bagi ahli waris untuk memberi maaf dan membatalkan Qishash pada seorang yang melakukan pembunuhan..? Kami rasa pemuda saleh ini pantas untuk kami maafkan”.

Seketika gemuruh takbir dan tahmid berkumandang. Seluruh masyarakat yang menyaksikan peristiwa itu takjub dengan mata berkaca-kaca. Mereka terharu menyaksikan tingginya ahlak dalam jiwa lelaki-lelaki sejati yang berjiwa ksatria itu…

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110).

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 2)

Benar adanya, bahwa dengan Islam, maka kita akan menjadi umat terbaik sepanjang masa. Setiap kali teringat kisah nyata ini, saya sering bertanya-tanya, masih adakah lelaki-lelaki sejati berjiwa ksatria di negeri ini..? Semoga masih ada dan berdoa serta berusaha agar kita termasuk pemuda yang berkarakter seperti kisah pemuda-pemuda di atas. Aamiin.

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)


Rabu, 05 September 2012

Masalah Sampang dan Hukum Mencela Sahabat Nabi Read




Underground Tauhid – KETIKA melakukan investigasi saat terjadi konflik pertama (bulan Februari 2012), antara masyarakat Sunni dengan Syiah di desa Nanggernang, Omben, Sampang Madura, seorang warga Sunni yang mantan jamaah Syiah bercerita bahwa salah satu penyebab kemarahan warga Sunni yaitu karena Tajul Muluk, pemimpin Syiah desa tersebut dianggap terang-terangan telah mencela para sahabat Nabi, khususnya Abu Bakar, Umar, Usman dan istri Nabi yaitu Aisyah dan Khafso.

Tentu saja perbuatan itu membuat marah warga Sunni yang di mata mereka, para sahabat merupakan generasi terbaik yang dimiliki umat Ini. Jasa mereka kepada Islam dan kaum muslimin amatlah besar.  Allah telah memilih mereka sebagai kaum yang diberi amanah untuk memperjuangkan, dan menyebarkan Islam. Karena itulah para ulama sepakat bahwa mencela sahabat, apalagi sampai menganggapnya munafik, merupakan perbuatan makar. [Baca pula; 22 Dakwaan yang Tuduhkan Pada Tajul Muluk], berupa kajian dan temuan lebih dari 50 ulama Madura yang telah disampaikan dalam sebuah pernyataan sikap  hari Senin 21 Muharram 1427 H/ 20 Februari 2006 tentang ajaran yang dinilai meresahkan warga ini.

Hukum dalam Mencela Sahabat Nabi

Mengkafirkan Para Sahabat Nabi yang telah dijamin surga oleh Allah Subhanahu Wata’ala   merupakan perkara yang berbahaya bagi aqidah seorang Muslim.

Karena Para Sahabat sebenarnya layak mendapat penghormatan dan pujian, karena banyak ayat maupun hadits Nabi yang memuji dan menjelaskan keutamaan mereka. Dalam surah Al-Hasr, Allah berfirman,”(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.  Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS: Al-Hasr: 8-10)

Demikian juga dalam kitab-kitab hadits yang diterima sepanjang zaman oleh umat Islam dan dipegang oleh para ulama untuk memahami agama ini, disebutkan bab-bab mengenai keutamaan para sahabat. Bahkan dengan tegas disebutkan bahwa menghormati dan memuliakan para sahabat merupakan salah satu bentuk ketaaatan kepada Rasulullah.

Al-Imam al-Bukhari dalam sahihnya meriwayatkan hadits dari Jabir bin Abdullah ra katanya: “Bersabda Rasulullah kepada kami pada hari Hudaibiyah (ketika Baiah al-Ridwan) “Kamu semua adalah sebaik-baik penghuni bumi – ketika itu kami berjumlah seribu empat ratus orang.” (HR.Bukhari)

Kecintaan terhadap para sahabat juga dicontohkan oleh para Imam Syiah. Diantaranya ditunjukkan oleh  Zainal Abidin Ali bin Husein.  Diriwayatkan dari Ali al-Arbali di dalam kitabnya  “Kasyful Ghummah” dari Imam Ali bin Husein. “Datang menghadap Imam beberapa orang dari Iraq, mereka mencaci maki Abu Bakar, Umar, dan Utsman (radhliyallahu ‘anhum). Ketika mereka sudah selesai berbicara, Imam berkata kepada mereka: “Apakah kalian mau menjawab pertanyaanku? Apakah kalian adalah kaum Muhajirin? (sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Orang-orang yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan (Nya) dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.”? (QS: Al Hasyr 8)). Mereka menjawab: “Bukan.” Beliau kembali bertanya: “Apakah kalian termasuk orang-orang yang dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala: ‘Orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan Muhajirin, mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin; dan mereka mengutamakan orang-orang Muhajirin, atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka sendiri membutuhkan (apa-apa yang mereka berikan itu).”? (QS: Al Hasyr 9). Mereka menjawab: “Bukan.” Beliau berkata lagi: “Kalian telah mengakui, bahwa kalian bukan termasuk salah satu dari dua golongan tersebut. Maka saya bersaksi, bahwa kalian juga bukan dari golongan orang-orang sebagaimana difirmankan Allah: “Mereka berdoa: “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (QS: Al Hasyr 10). Menyingkirlah kalian dariku, semoga Allah menghukum kalian!” (Kasyful Ghummah Fi Ma’rifatil Aimmah,  juz II,  hal 291)

Bahkan kecintaan Ahlul Bait terhadap para sahabat tidak diragukan lagi, termasuk kepada sahabat yang bersebarangan dengan mereka seperti Muawiyah. Hal ini dijelaskan oleh ulama Syaih sendiri at-Thabarsi, dalam kitabnya al-Ihtijaj.

Dalam kitab tersebut diejlaskan bahwa Ahlul bait masih lebih percaya kepada Muawiyah daripada kepada kaum Syiah sendiri. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dikatakan oleh Imam Hasan bin Ali. Dari  Zaid bin Wahb al-Juhani katanya: Ketika al-Hasan bin ‘Ali a.s. ditikam di al-Madain aku datang menemuinya dalam keadaan dia kesakitan. Maka aku pun berkata kepadanya: “Apa pandanganmu wahai anak Rasulullah karena sesungguhnya orang banyak dalam keadaan kebingungan (dengan apa yang terjadi)? Dia pun menjawab: “Demi Allah! Aku pikir Mu’awiyah lebih baik untukku daripada mereka-mereka ini. Mereka mengaku sebagai Syi’ahku tetapi mencari peluang untuk membunuhku, merampas barang berhargaku dan mengambil hartaku. Demi Allah! Jikalau aku mengadakan perjanjian dengan Mu’awiyah, dia akan melindungi darahku dan aku merasa aman dengan (perlindungannya) terhadap keluargaku. Itu adalah lebih baik daripada mereka (Syi’ah) membunuhku lalu akan tercampakkan kaum keluargaku dan isteriku. Demi Allah! jikalau aku memerangi Mu’awiyah mereka akan menangkapku sehingga mereka akan menyerahkanku kepadanya (Mu’awiyah) sebagai tawanan. Demi Allah! jika aku mengadakan perdamaian dengannya dan aku dalam keadaan mulia adalah lebih baik daripada dia membunuhku sebagai tawanan atau dia akan membantuku lalu ia menjadi pengikut Bani Hasyim di akhir zaman.” (Ahmad bin Ali bin Abi Talib at-Thabarsi,  al-Ihtijaj,   juz II,  hal. 290)

Berdasar keterangan tersebut para  jumhur (mayoritas) ulama  berpendapat bahwa orang yang menghina sahabat Rasulullah adalah orang fasik dan munafik, bahkan ada sebagian ulama yang mengkafirkannya.  Sebaliknya, cinta kepada para sahabat Nabi, baik itu Ahlul Bait maupun bukan merupakan tanda keimanan seseorang.

Imam As-Suyuthi ketika mengomentari hadits Rasulullah riwayat Al-Imam Muslim yang berbunyi; “Mencintai orang Anshar adalah tanda keimanan, dan membenci mereka adalah tanda kemunafikan”  menulis sebuah penafsiran yang menarik:  “Tanda-tanda orang beriman adalah mencintai orang-orang Anshar karena siapa saja yang mengerti martabat mereka dan apa yang mereka persembahkan berupa pertolongan terhadap agama Islam, jerih-payah mereka memenangkannya, menampung para sahabat (muhajirin,pen), cinta mereka kepada Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, pengorbanan jiwa dan harta mereka di depan Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, permusuhan mereka terhadap semua orang (kafir) karena mengutamakan Islam dan mencintainya, maka semua itu merupakan tanda kebenaran imannya, dan jujurnya dia dalam berislam. Barangsiapa yang membenci mereka dibalik semua pengorbanan itu, maka itu merupakan tanda rusak dan busuknya niat orang ini”. (Ad-Dibaj Ala Shahih Muslim,  juz I, hal. 92)

Abu Zur’ah ar Razi yang dinukil perkataannya oleh Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al Kifayah juga menilai bahwa orang yang menghina sahabat termasuk munafik. Ia berkata, ‘Apabila kamu melihat seseorang menghina salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwasanya dia adalah seorang zindiq (munafik) karena dalam pandangan kami Rasululullah adalah benar, al- Qur’an benar, dan yang menyampaikan al-Qur’an dan hadits kepada kita hanyalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebenarnya orang-orang itu hendak mencela para saksi kita untuk membatalkan al-Qur’an dan hadits. Justru celaan lebih layak bagi orang-orang itu, merekalah kaum zindik.” (Al Kifayah fi Ilmu Riwayah, juz 1, hal. 49)

Imam al-Hafizh Abd Qadir al-Baghdadi bahkan mengkafirkan orang yang mengkafirkan para sahabat dan melarang umat Islam shalat di belakang mereka. Ia berkata: “Adapun kelompok yang senantiasa  mengikuti hawa nafsu, seperti Jarudiyyah, Hisyamiyyah, Jahmiyyah dan Syi’ah Imamiyyah yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat, maka kami mengkafirkan mereka dan tidak boleh mendoakan mereka serta tidak boleh pula shalat di belakang mereka.” (Al-Farq Bain al-Firaq wa Bayani al-Firqotu Najiyah,  hal. 357)

Berdasar pemahaman tersebut Imam Nawawi berpendapat bahwa orang yang mencela sahabat harus dihukum. Ia berkata “Ketahuilah bahwa mencela para sahabat radhiallahu ‘anhum adalah haram, ia termasuk perkara keji yang diharamkan baik kepada mereka yang terlibat di dalam peristiwa fitnah atau selainnya. Ini karena mereka adalah para mujtahid di dalam peperangan tersebut. al-Qadhi (‘Iyadh) menambah: Mencela salah seorang daripada sahabat merupakan kesalahan yang besar. Pandangan kami serta pandangan jumhur ulama adalah mereka itu dihukum tetapi tidak dihukum mati. Namun menurut sebagian ulama  Maliki mereka itu dihukum mati. (Syarh Shahih Muslim bi al-Nawawi, juz XVI, hal.. 93)

Bedasar keterangan tersebut ulama Sunni sepakat bahwa haram hukumnya mencela sahabat Nabi. Para ulama hanya berbeda dalam hal hukuman yang diberikan kepada mereka yang mencela sahabat Nabi.

Dengan dasar inilah, konflik akan mungkin terus terjadi, jika tindakan mencela terhadap para Sahabat Nabi masih terus dilakukan.*

Oleh : Bahrul Ulum dari Hidayatullah.com – Penulis adalah peneliti InPAS (Institut Pemikiran dan Peradaban Islam) Surabaya