
#PROLOG
Hai, kamu anak kecil bangun!!
Kau jangan duduk di sini!! kamu berdiri!
Seru lelaki paruh baya itu yang kemudian membuat aku kaget dan ketakutan. Dia adalah kondektur bus Damri, bus yang saya naiki bersama ibu saya pertama kali saya ke jakarta di awal tahun 1990. Ibu saya datang ke jakarta membawa 2 orang anak yaitu saya, yang waktu itu 5 tahun dan adik saya Syarif yang baru lahir, tepatnya baru seminggu dia terlahir. Ibuku ingin menemui ayahku yang bekerja di jakarta. Beberapa bulan ini ibuku tidak mendapatkan kiriman.
Ibuku merasa tidak terima dengan perlakuan kasar dari kondektur tersebut, suasana bus Damri yang panas karena belum ada jamannya bus pakai AC kian memanas dengan percekcokan antara ibu dan kondektur. Seketika itu ibu berdiri dan marah terhadap kondektur bus yang kasar itu.
Bapak jangan keterlaluan begitu,dia anak kecil jangan dikasari. Apa salahnya dia duduk di kursi ini? tanya ibuku
Dia kan tidak bayar, jadi dia ga berhak duduk, ini aturan! seru sang kondektur
Aturan dari mana? presiden saja kalau salah bisa dikoreksi, bikin aturan juga ga seenak sendiri, emang ini negara nenekmu apa?
Ibuku tak terkendalikan diri dan mengeluarkan kata-kata yang dia sebenarnya juga tidak tahu maknanya. Maklum, kami ini orang desa, ibu hanya lulusan SR yang kelasnya mentok sampai kelas 4. Jadi kalau bicara hukum sering bawa-bawa presiden. Jaman itu presidennya Pak Harto, yang sering sekali muncul di televisi.
Apa? mau lapor polisi? silakan lapor aja? sekalian aja lapor tuh sana sama presiden? yang jelas anak ini TIDAK BOLEH DUDUK DI SINI!!! Seru kondektur tersebut diakhiri dengan bentakan. Seketika tubuhku yang masih mungil itu dilempar ke arah tengah-tengah. Aku yang masih setengah sadar dari tertidur dan masih mengumpulkan nyawa yang baru separo harus kesakitan, tak ada hal lain yang bisa kulakukan. Seketika itu aku nangis dan meronta merasa sangat sakit, pahaku terbentur besi jok bus yang kerasnya na’udzubillah.
Ibuku merasa tidak terima dengan perlakuan itu dan seketika itu dia ambil koran yang dibelinya di terminal Bumiayu, dia gulung-gulung dan dipukulkannya ke kondektur tersebut. Semua penumpang yang sedari tadi tidak mengikuti kejadian karena sibuk sendiri ada yang mencari sandal jepit, ada yang mencari tisu, ada yang mengambil tas kresek buat muntah, serentak mereka terdiam dan ikut memperhatikan drama pertengkaran. Sebelum kejadian lebih besar terjadi seorang bapak yang sedari tadi berdiri diam langusng menengahi. Bapak inilah sebenarnya yang punya tiket dan berhak untuk duduk di kursi tersebut, dia memberikan kursi itu kepadaku karena dia kasihan melihatku berdiri terkantuk-kantuk di bus. Bapak itu menjelaskan duduk persoalan kepada kondektur tersebut, bahwa dialah yang memberikan tempat duduk untuk anak kecil ini. Kondektur itupun mengerti, namun dia hanya berlalu saja, tanpa ada kata maaf yang keluar dari mulutnya. Sebelum beranjak jauh ibu saya berseru, Hai kondektur!! sudah kucatat nama kamu, nanti aku juga akan catat nomor plat bus ini, biar kamu ditindak sama pimpinan!! O dasar Ora ndue perasaan (tidak berperasaan).
Kejadian malam itu tidak pernah akan hilang dari ingatanku, itulah pertama kalinya saya datang ke jakarta. Demi ikut ke jakarta aku terpaksa harus meninggalkan teman-teman di kampung dan harus ijin tidak ngaji dan sekolah arab (Sekolah diniyah) selama seminggu. Setelah sampai di Jakarta, kami transit di rumah saudara dan keesokan harinya berkeliling mencari alamat ayah saya yang katanya tinggal di daerah Tebet.
Dengan mengendarai motor Binter, mas rustam saudara saya membawa kami keliling jakarta. Pemandangan waktu itu benar-benar sangat menarik buat saya yang masih kecil terutama ketika saya melihat bus tingkat yang jumlahnya banyak. Rasanya ingin saya naik bus itu. Saya yang duduk di atas tanki sepeda motor dan tertiup angin yang amat ribut itu hanya bisa berteriak ke arah ibu yang ada di balik badan (belakang) mas Rustam. Bu, tahun depan naiknya bus itu ya, yang ada tingkatnya.

Waktu itu memang tidak memungkinkan untuk naik bus, karena ada kebutuhan yang mendesak dan menggunakan motor adalah cara yang mudah. Jumlah motor di jakarta saat itu tidak sebanyak sekarang. Saya ingat sekali selama perjalanan udara begitu segar, suasana jakarta begitu asri dan indah. Antar gedung-gedung bertingkat yang menjulang itu bisa berkawan dengan pepohonan nan hijau. Lalu lintas amat lancar, selama perjalanan tidak ada kemacetan. Paling-paling harus berhenti karena ada lampu merah.

Tapi sayang sekali keinginan saya saat kecil untuk naik bus tingkat sampai saat ini tidak pernah tercapai karena setelah saya besar ke jakarta untuk kedua kalinya yaitu sekitar tahun 2000, di jakarta sudah tidak ada lagi bus tingkat. Dan sekarang saya tinggal di depok, dekat sekali dengan jakarta juga tidak pernah melihat bus tingkat itu.

#SEBUAH KEMUNDURAN
Melihat kenyataan sekarang dan membandingkannya dengan di era 90 an adalah menimbulkan sebuah pertanyaan besar di benak kita. Jakarta itu kan ibu kota negara? kok kayak gini? bukannya maju malah mundur. Secara kasat mata mungkin terlihat bangunan yang modern, gedung-gedung pencakar langit dengan jendela-jendela kaca yang megah. Tapi ya mau jadi apa kalau setiap mau pergi dari satu tempat yang jaraknya tidak sampai puluhan kilo meter harus menghabiskan waktu sampai lebih dari 5 jam. Sangkin sudah umumnya sampai-sampai timbul ungkapan “Hidup di jakarta mah waktunya bakal habis di jalan, di tengah kemacetan”.
Gara-gara urusan macet ini sampai-sampai Jakarta menjadi kota yang disebut-sebut sebagai ibu kota twitter. Berdasarkan informasi yang saya baca di tempo.co (link berita) untuk saat ini Jakarta berada di posisi tertinggi jumlah twit di seluruh kota besar di dunia, diikuti oleh kota Tokyo dan kota London. Dan tentunya kontribusi besar ini ada kaitannya dengan kondisi jakarta, di mana-mana macet terjadi, sehingga sebagian besar melampiaskannya ke twitter.
Dalam hal transportasi, salah satu kemunduran besarnya adalah pola transportasi yang berkembang lebih menitikberatkan memindahkan kendaraan dibandingkan memindahkan (mobilisasi) orang. Akibatnya jumlah kendaraan yang beredar tidak dibatasi, sehingga kemacetan di mana-man terjadi. Hal ini sanagt berdampak dan sangat merugikan, terutama duni usaha. Gara-gara macet ini pengusaha rugi 500 juta per hari (sumber tempo.co).
Masih banyak masalah yang terjadi di Jakarta ini, ya kalau dicampur-campur seperti gado-gado sejuta rasa. Tapi bagi saya satu saja, jika masalah transportasi ini bisa teratasi pasti akan ada kemajuan yang signifikan dari ibu kota kita ini. Tapi untuk menuju ke sana entah sampai kapan akan bisa selesai.
#MAU MILIH PEMIMPIN ATAU PEMIMPI??

Warga Jakarta saat ini mungkin sedang galau dengan kondisi Jakarta yang semakin hari menjadi semakin parah. Namun di tengah kegalauan itu ada secercah harapan besar, karena saat ini mereka mendapat kesempatan untuk melakukan perubahan. Pemilukada DKI yang telah berlangsung 1 putaran telah menunjukkan bagaimana masyarakat jakarta mecoba untuk mengubah keadaan dengan memilih pemimpin yang diharapkan mampu mengatasi semua permasalahan di Jakarta.
Saat sebelum berlangsung peungutan suara, terutama pada masa kampanye kita sering mendengar ada calon yang menjanjikan akan menyelesaikan masalah jakarta kurang dari 3 bulan, ada yang berjanji cukup satu bulan ada juga yang bilang saat itu juga “Ngimpi!”.begitulah mungkin ungkapan yang tepat untuk para kandidat tersebut mirip seperti iklan produk rokok. Tapi sudahlah kita lupakan saja toh putaran satu ini sudah berlalu. Yang jelas warga Jakarta sudah menentukan pilihannya sehingga saat ini kandidat yang masih tersisa adalah pasangan Foke-Nara dan Jokowi Ahok. Pasangan lain yaitu Alex-Nono, Hidayat-Didik, Faisal Biem dan Hendarji-Rieza telah lebih dahulu pulang kandang. Dan nantinya siapapun yang akan mereka pilih akan mereka tanggung konsekwensinya di kemudian hari .
Terkait hasil pada putaran pertama di mana menempatkan Jokowi-Ahok di urutan pertama dengan jumlah 42, 59% disusul kemudian Foke-Nara dengan 34,32% suara sebenarnya sejak awal trend ini sudah mampu ditebak tanpa harus mempercayai lembaga-lembaga survey karena tingkat keakuratan yang masih perlu ditanyakan, disamping banyaknya ditunggangi kepentingan. Cukup memanfaatkan social media, seperti yang dilakukan oleh PoliticaWave.com.

Dengan melihat Infografis yang ada di situs PoliticaWave.com sebenarnya kita sudah bisa melakukan perkiraan kira-kira siapa saja yang akan lolos sampai pada putaran ke dua.
sumber: http://kangrahmat.blogdetik.com/index.php/2012/08/02/gendang-gendut-tali-kecapi-ibu-kota-negara-kok-begini/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar